Artikel di halaman pertama Kompas edisi Senin, 18 Juli 2011, soal Taman Nasional Ujung Kulon teramat menarik. Diwartakan, Kementerian Kehutanan memberikan izin kepada Yayasan Badak Indonesia untuk mengadakan program Javanese Rhino Sanctuary. Bentuk program adalah dengan membelah taman nasional itu dan memagarinya dengan pagar berlistrik. Di arah timur dibangun pagar sepanjang 20 kilometer, dan di sisi barat sepanjang 2 kilometer.
Proyek itu tepatnya terletak di Desa Ujung Jaya. Lahan hutan dibuka seluas 30 meter sepanjang 5 kilometer dari Cilintang sampai Aermokla.
Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kehutanan, boleh saja beralasan program itu disetujui karena masih berkaitan dengan konservasi badak jawa yang jumlahnya berdasar data WWF Cuma 29 ekor lagi. Namun, pembukaan kawasan taman nasional jelas melanggar karena tak boleh ada kegiatan apa pun di dalamnya. Apalagi sampai membuka dan membuat pagar listrik.
Kejadian semacam ini bukan sekali dua terjadi dalam lingkup taman nasional di Indonesia. Di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan juga demikian. Pembangunan jalan yang membelah situs warisan dunia itu juga berdampak ekologis. Pemburu banyak yang masuk dan hutan di dalamnya rusak. Pembalakan liar yang memang tak mampu diatasi oleh puluhan personel Polisi Kehutanan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, makin senang karena akses terbuka lebar. Kini gampang menjarah kayu. Tebang lalu taruh di pinggir jalan. Kalau ada pengawasan, kasus suap acap terjadi. Makin sedikitlah batang-batang kayu besar di dalam hutan kawasan.
Di Lampung, Direktur Eksekutif Walhi Lampung Hendrawan pernah meminta rencana pembangunan jalan yang membelah Bukit Barisan Selatan ditunda. Saat akan ada perluasan jalan juga, Walhi masih menentang. Tapi seperti kata pepatah: Anjing menggonggong, kafilah tetap berlalu.
Dibelahnya Taman Nasional Ujung Kulon lalu membentuk semacam daerah tersendiri (enklave) seluas 3.000 smapai 4.000 hektare dengan dibatasi laut di sisi utara dan selatan. Nah, di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, kejadian serupa juga ada. Adanya Tambling Nature Wildlife Conservation(TNWC) yang mendapat konsesi dalam konservasi harimau sumatera juga berdampak ekologis dan sosiologis. Masyarakat yang berada di penyangga (buffer) seringkali ketakutan lantaran harimau yang dilepasliarkan di sana acap memangsa ternak masyarakat. Pihak pengelola memang akan mengganti ternak warga, tapi dampak traumatisnya memang terasa sekali.
Balik ke soal pembelahan Taman Nasional Ujung Kulon. Menurut aktivis Forum Anti-Perdagangan Ilegal satwa, Dwi Nugroho Adhiasto, yang saya hubungi via ponsel, pembelahan dan adanya pagar listrik di Ujung Kulon secara ekologis menghambat pergerakan satwa arboreal dan terestrial untuk berpindah guna mencari makan. Juga membuat satwa kesulitan dalam reproduksi. “Dampak panjangnya bisa berefek terhadap kestabilan populasi satwa,” kata Dwi lewat pesan pendeknya.
Dwi yang juga Koordinator Lampung Wildlife Crime Unit, mengatakan, soal batas dengan laut, kedua wilayah (Ujung Kulon dan Bukit Barisan Selatan) secara geografi memang dibatasi laut di selatan dan barat serta permukiman padat di utara dan timur.
Kisah serupa yang lain juga terjadi di Taman Nasional Bukit Dua Belas di Jambi. Adanya konsesi untuk menebang kayu demi pabrik kertas juga menyebabkan kerusakan di sana. Suku Anak Dalam yang mendiami hutan itu juga terancam kesulitan karena komunitas mereka terancam kerusakan hutan.
*
Taman nasional di Indonesia memang berada di ujung tanduk. Tak cuma Ujung Kulon dan Bukit Barisan Selatan, serta Bukit Dua Belas. Kalau pemerintah masih saja permisif dengan izin-izin usaha korporasi besar atau “usaha konservasi” yang dikerjakan korporasi atau yayasan besar, riwayat hutan kita akan berakhir. Tak menutup peluang badak jawa di Ujung Kulon memang berada di ujung tanduk. Pembukaan lahan dan program yang tak tepat dengan situasi sekitar, malah mengancam keberadaan satwa-satwa eksotis Indonesia, khususnya empat satwa besar: harimau sumatera, gajah sumatera, dan badak sumatera serta badak jawa.
Maka itu, sudah seharusnya pemerintah menghentikan semua konsesi yang mengancam kelestarian alam. Wasior adalah bukti paling sahih dari kerusakan lingkungan dengan banjir besar yang datang saat hutan di sana rusak parah. Kita tak ingin itu terjadi di semua taman nasional, termasuk Ujung Kulon yang nasibnya di ujung tanduk.
Wallahualam bissawab.
Sumber :
Adian Saputra
http://green.kompasiana.com/iklim/2011/07/18/ujung-kulon-di-ujung-tanduk/
18 Juli 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar